Latar Belakang, Mitos dan Nilai Sejarah Angklung
Alat musik angklung barangkali adalah jawaban yang langsung Anda lontarkan ketika seorang turis mancanegara bertanya apakah instrumen khas dari negara Indonesia. Dengan mudah bisa Anda berikan kepada sang turis sebuah gambaran imajiner mengenai suatu alat musik yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang kemudian dipotong sedemikian rupa lalu disusun dengan aturan yang menyerupai alat musik organ. Bilah-bilah ini kemudian disatukan dengan cara diikat ke sebuah bidang bingkai.
Bagaimana cara memainkannya? Dengan cara digetarkan. Alunan nada akan terdengar bervariasi berdasarkan kekuatan daya getar dari masing-masing bilah bambu yang tingginya tak samarata. Dalam pembuatannya, angklung menggunakan satu dari dua jenis bambu yaitu yang berwarna hitam atau putih.
Nah, jangan lupa sampaikan pada turis tamu Anda tersebut bahwa mulai bulan November tahun 2010, angklung telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai satu warisan budaya nonbendawi dunia. Pasang pula raut wajah bangga ketika Anda menceritakan fakta tersebut pada si turis agar mereka tahu bahwa benda musikal yang tengah Anda ceritakan padanya adalah sebuah identitas nasional Indonesia yang diakui internasional.
Namun, ada baiknya jika Anda bisa menceritakan sejarah di balik alat musik angklung kepadanya. Sampaikan bahwa tak dapat dilacak kapan pertama kali penggunaan instrumen ini muncul. Namun, informasikan bahwa kuat dugaan mengenai keberadaan alat musik tersebut di sebuah era yang bercorak Neolitik.
Jika Anda sendiri bahkan belum tahu mengenai fakta ini, maka sadarilah bahwa angklung, yang mengeluarkan bunyi segar sehingga pada zaman dahulu banyak digunakan untuk menyemangati para prajurit di medan perang, merupakan jejak bukti betapa tua perdababan Nusantara. Instrumen tersebut adalah peninggalan kebudayaan negeri ini yang telah ada jauh sebelum Hindu membentuk peradaban historis yang pertama. Bayangkan saja, catatan pertama mengenai angklung baru mengetengah pada masa Kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda sendiri berdiri dalam rentang waktu abad-12 hingga abad-16.
Dalam referensi yang didapat dari era tersebut, kemunculan angklung berkenaan erat dengan pola hidup masyarakat setempat yang bernuansa agraris dan akrab dengan padi. Akan tetapi, baru pada masyarakat Baduy-lah penggunaan angklung yang memiliki tujuan bersifat vertikal mengada. Sebagai bagian dari penduduk Sunda yang masih asli, masyarakat Baduy memanfaatkan bunyi angklung untuk memulai ritual yang berkaitan dengan proses penanaman padi.
Sementara itu, bentuk permainan angklung gubrag yang diketemukan di Bogor memiliki akar sejauh empat abad yang lalu. Latar belakangnya sama, tetap bermula dari ritual penanaman padi namun yang ini memiliki unsur religius. Pada saat itu, angklung dimainkan untuk menarik perhatian Dewi Sri di kahyangan agar turun dan memberi berkah berupa hasil panen padi yang melimpah.
Memasuki era penjajahan Belanda, angklung tereduksi menjadi permainan musik khusus anak-anak. Jika turis tamu Anda itu bertanya apa sebabnya, katakan bahwa pihak Belanda kala itu gentar dengan efek penggugah semangat yang dimiliki oleh sebuah alat musik angklung yang sederhana sehingga mereka melarang orang dewasa untuk menggunakannya.
Bagaimana cara memainkannya? Dengan cara digetarkan. Alunan nada akan terdengar bervariasi berdasarkan kekuatan daya getar dari masing-masing bilah bambu yang tingginya tak samarata. Dalam pembuatannya, angklung menggunakan satu dari dua jenis bambu yaitu yang berwarna hitam atau putih.
Nah, jangan lupa sampaikan pada turis tamu Anda tersebut bahwa mulai bulan November tahun 2010, angklung telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai satu warisan budaya nonbendawi dunia. Pasang pula raut wajah bangga ketika Anda menceritakan fakta tersebut pada si turis agar mereka tahu bahwa benda musikal yang tengah Anda ceritakan padanya adalah sebuah identitas nasional Indonesia yang diakui internasional.
Namun, ada baiknya jika Anda bisa menceritakan sejarah di balik alat musik angklung kepadanya. Sampaikan bahwa tak dapat dilacak kapan pertama kali penggunaan instrumen ini muncul. Namun, informasikan bahwa kuat dugaan mengenai keberadaan alat musik tersebut di sebuah era yang bercorak Neolitik.
Jika Anda sendiri bahkan belum tahu mengenai fakta ini, maka sadarilah bahwa angklung, yang mengeluarkan bunyi segar sehingga pada zaman dahulu banyak digunakan untuk menyemangati para prajurit di medan perang, merupakan jejak bukti betapa tua perdababan Nusantara. Instrumen tersebut adalah peninggalan kebudayaan negeri ini yang telah ada jauh sebelum Hindu membentuk peradaban historis yang pertama. Bayangkan saja, catatan pertama mengenai angklung baru mengetengah pada masa Kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda sendiri berdiri dalam rentang waktu abad-12 hingga abad-16.
Dalam referensi yang didapat dari era tersebut, kemunculan angklung berkenaan erat dengan pola hidup masyarakat setempat yang bernuansa agraris dan akrab dengan padi. Akan tetapi, baru pada masyarakat Baduy-lah penggunaan angklung yang memiliki tujuan bersifat vertikal mengada. Sebagai bagian dari penduduk Sunda yang masih asli, masyarakat Baduy memanfaatkan bunyi angklung untuk memulai ritual yang berkaitan dengan proses penanaman padi.
Sementara itu, bentuk permainan angklung gubrag yang diketemukan di Bogor memiliki akar sejauh empat abad yang lalu. Latar belakangnya sama, tetap bermula dari ritual penanaman padi namun yang ini memiliki unsur religius. Pada saat itu, angklung dimainkan untuk menarik perhatian Dewi Sri di kahyangan agar turun dan memberi berkah berupa hasil panen padi yang melimpah.
Memasuki era penjajahan Belanda, angklung tereduksi menjadi permainan musik khusus anak-anak. Jika turis tamu Anda itu bertanya apa sebabnya, katakan bahwa pihak Belanda kala itu gentar dengan efek penggugah semangat yang dimiliki oleh sebuah alat musik angklung yang sederhana sehingga mereka melarang orang dewasa untuk menggunakannya.
Berlangganan Artikel Melalui Email!
Suka dengan artikel kami? Daftarkan email anda sekarang untuk mendapatkan artikel terbaru dari DetiaBlog
0 Response to "Latar Belakang, Mitos dan Nilai Sejarah Angklung"