Filosofi Sosial Budaya Pada Makanan Tradisional Rendang dari Minang

Apa yang melintas di pikiran Anda ketika mendengar kata rendang daging? Pedas? Bumbu-bumbu yang meresap ke dalam serat-serat daging? Berminyak? Tentu. Hal-hal tersebut pastilah secara otomatis terpikirkan oleh Anda. Sebagai masakan khas daerah Minang, rasa yang tajam dan penggunaan bahan-bahan berminyak menjadi karakter yang mencolok dalam setiap hidangan asal Sumatera Barat.

rendang asli minangkabau

Ya, rendang memang nikmat. Rasanya yang khas mampu melambungkan kreasi kuliner asli bangsa Indonesia ini ke papan atas percaturan masakan internasional, terbukti dengan keberadaan hidangan daging tersebut dalam daftar lima puluh makanan terenak di dunia versi CNN. Namun tahukah Anda bahwa ada filosofi yang mendasari tiap sendok hidangan yang Anda nikmati tersebut?

Ketika berbicara rendang, orang Minang biasanya merujuk pada hidangan daging berbumbu yang tersaji kering dan berwarna cokelat kehitaman. Apabila Anda mencari masakan ini dan menemukannya dalam bentuk basah dan berkuah serta biasanya berwarna kuning, itu adalah kalio. Kalio adalah rendang separuh jadi, sebab proses memasaknya jauh lebih cepat daripada masakan yang sebetulnya.

Sekalipun setengah jadi, kalio tetap enak disantap hanya saja dari segi ketahanan, kalio hanya bisa dikonsumsi sekitar satu minggu. Setelah itu ia akan basi. Rendang daging yang sebetulnya bisa bertahan hingga satu bulan tanpa perlu dimasukkan ke dalam lemari pendingin atau diberikan perlakuan preservatif lain.

Mengapa? Pertama, cara memasak rendang yang lamanya berjam-jam membuat kandungan air mencapai tingkat di bawah minimal setelah proses karamelisasi unsur santan dan bumbu-bumbu lain terjadi. Dengan jumlah air yang minim, bakteri tak dapat berkembang biak dan makanan akan lebih terjaga ketahanannya.

Kedua, penggunaan bumbu-bumbu rimpang yang kaya akan zat antimikroba pun membantu dalam meningkatkan daya tahan rendang. Kunyit, lengkuas, jahe; kesemuanya memiliki properti antibiotik yang berfungsi mematikan bakteri. Dan kita bahkan belum menyebutkan penggunaan bawang putih dan merah yang berkhasiat. Jadi, bisa disimpulkan bahwa rendang dipertahankan secara dua lapis: minim air dan tinggi antibiotik.

Kesemua faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa rendang bisa dijadikan oleh-oleh karena ia tidak akan basi dalam jangka waktu singkat. Sangat menarik menyikapi bagaimana orang zaman dahulu mengakali makanan mereka agar berumur panjang tanpa bantuan lemari es atau zat aditif lain.
Baca juga: Alat Musik Gambang Kromong dan Cara Memainkannya
Konon, cikal bakal masakan rendang bermula dari abad keenam belas. Ketika itu, masyarakat Minang mulai rajin merantau ke Malaka. Dan untuk menyokong kegiatan ini, mereka pun memutar otak untuk mencari solusi bekal yang tak mudah basi. Dan terciptalah masakan yang kini kita kenal luas tersebut.

Uniknya, unsur-unsur masakan rendang berkaitan dengan struktur kemasyarakatan orang Minang itu sendiri. Daging adalah simbol bagi niniak mamak, yaitu pemuka adat. Kelapa adalah kaum intelektual yang dalam bahasa Minang disebut candiak pandai. Cabai yang pedas dikatakan serupa dengan alim ulama yang sangat tegas dalam menegakkan syariah agama.

Sementara bumbu-bumbu lain yang digunakan mencerminkan masyarakat umum. Rendang daging merupakan sebuah sajian yang penuh perlambangan sebagaimana tutur kata orang Minang yang dipadati kiasan tentang kehidupan.

Berlangganan Artikel Melalui Email!

Suka dengan artikel kami? Daftarkan email anda sekarang untuk mendapatkan artikel terbaru dari DetiaBlog

Load comments

0 Response to "Filosofi Sosial Budaya Pada Makanan Tradisional Rendang dari Minang"